January 13, 2011

Masa Kini Sudan, Masa Depan Indonesia?

Ketika kita disibukkan dengan kasus Gayus Tambunan dan harga cabai yang melangit, di Afrika, rakyat Sudan tengah menentukan nasib negara dan bangsanya.  Hingga tanggal 15 Januari mendatang, penduduk negara terbesar di Benua Afrika ini memang sedang menjalani proses referendum untuk menentukan apakah kawasan tersebut akan menjadi negara merdeka atau tetap menjadi bagian Sudan seperti sekarang ini.  Referendum ini diharapkan dapat meredam perang saudara Utara-Selatan yang telah berlangsung lebih dari 20 tahun dan memakan korban jutaan jiwa. 

Ada beberapa penyebab dipilihnya referendum sebagai solusi terbaik konflik tersebut, namun jika menilik sejarah, keputusan sepihak pemerintah Presiden Gaafar Nimeiri (yang berkedudukan di Khartoum di utara) untuk menerapkan hukum syariah dan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa nasional, termasuk di kawasan selatan, pada tahun 1983 merupakan faktor utama pecahnya perang saudara itu sendiri.  Keputusan kontroversial ini bertentangan dengan kesepakatan Addis Ababa yang menjanjikan otonomi luas bagi masyarakat Sudan Selatan.

Sumber: BBC News

Secara demografis, Sudan Utara dan Sudan Selatan memang sangat berbeda, di mana Sudan Utara didominasi oleh suku Arab dan peranakan Arab-Afrika yang beragama Islam sedangkan mayoritas penduduk kawasan selatan adalah suku lokal Afrika yang memeluk agama Kristen dan tidak berkomunikasi dalam bahasa Arab (agama Kristen sendiri disinyalir sudah masuk ke Sudan pada abad-abad awal Masehi, sebelum bangsa Arab masuk ke kawasan tersebut beberapa abad kemudian).  Tentu saja keputusan Presiden Nimeiri untuk menerapkan Islamisasi dan Arabisasi ini ibarat menabuh genderang perang.  Apalagi sejak masa pendudukan Arab di abad ke-19, dikotomi Arab dan non-Arab begitu kental, menjadikan penduduk lokal Sudan masyarakat kelas dua dan dipandang terbelakang di negaranya sendiri.  Padahal sebagian besar pendapatan negara tersebut bersumber dari hasil minyak bumi, yang ironisnya justru terdapat di Sudan Selatan.  Baru pada tahun 1991, presiden saat itu, Omar Al Bashir, menyatakan bahwa hukum syariah tidak akan diterapkan di beberapa daerah di Sudan Selatan dan pada tahun 2005 dicanangkan perjanjian damai yang berujung pada referendum bulan ini.

Namun referendum ternyata juga menimbulkan masalah baru, terutama bagi mereka yang berasal dari Sudan Selatan namun bertempat tinggal dan beranak-pinak di utara.  Pasalnya, Presiden Omar Al Bashir menyatakan bahwa jika rakyat Sudan Selatan memilih untuk memisahkan diri, maka pemerintahannya akan menjadikan Sudan Utara sebagai negara Islam secara penuh dengan bahasa Arab sebagai bahasa nasional (saat ini bahasa Inggris berdampingan dengan bahasa Arab merupakan bahasa nasional untuk mengakomodasi rakyat non-Arab) dan hukum syariah akan diterapkan dengan ketat.  Pernyataan presiden ini serta-merta menimbulkan kekhawatiran terjadinya diskriminasi, bahkan genosida terhadap rakyat Sudan Selatan di utara dan mendorong terjadinya eksodus besar-besaran ke Sudan Selatan.  Yang patut dicatat, tidak sedikit penduduk Sudan Utara sendiri yang menolak diterapkannya hukum syariah secara ketat, terutama karena tidak adanya kesepakatan antara para ulama mengenai penerapan hukum syariah itu sendiri sehingga menimbulkan perbedaan interpretasi yang luar biasa. 

Sumber: Huffington Post

Salah satu kasus pelanggaran hukum syariah yang menarik perhatian dunia adalah kasus Lubna Hussein, seorang mantan jurnalis yang juga pegawai PBB.  Lubna, seorang wanita Muslim, ditangkap bersama beberapa wanita lain saat memakai celana panjang di muka umum, yang dilarang oleh UU syariah di Sudan dan mengganjar pelakunya dengan 40 cambukan.  Kasus ini menempatkan Sudan di tengah sorotan mata dunia karena Lubna menolak hak kekebalan hukumnya sebagai pegawai PBB dan memilih mengajukan pembelaannya di muka pengadilan.  Tentunya masih banyak Lubna-Lubna lain yang tidak bisa membela diri dan terkungkung oleh penerapan hukum syariah yang tidak manusiawi.
Penerapan hukum syariah yang tidak manusiawi juga banyak terjadi di negara-negara Islam lainnya, banyak kasus di mana korban perkosaan justru dihukum cambuk atau lebih parah lagi dirajam karena dianggap berzinah.  Ini sekali lagi karena baik Al Quran dan Sunnah sebenarnya tidak mengatur segala sendi kehidupan secara detil dan banyak aturan-aturan yang diterapkan sebagai hukum syariah sebenarnya baru diciptakan pada masa-masa setelah Nabi Muhammad wafat.  Bahkan banyak ajaran Al Quran dan Sunnah yang interpretasinya masih diperdebatkan oleh para ulama Islam hingga saat ini.

Oleh karena itu, saya merasa ngeri membayangkan bagaimana jika hukum syariah diberlakukan di Indonesia seperti yang dikampanyekan beberapa partai politik.  Saya bisa mengerti bahwa beberapa kalangan mungkin merasa tidak puas dengan penegakan hukum di Indonesia, tetapi saya tidak melihat bagaimana penerapan hukum syariah bisa mengatasi masalah tersebut. 

Hingga saat ini, tidak ada satu pun negara penganut hukum syariah murni di muka bumi ini yang bisa menyejahterakan rakyatnya.  Fakta justru membuktikan bahwa negara-negara yang tadinya liberal dan kemudian beralih kepada hukum syariah masyarakatnya malah menjadi lebih terpuruk.  Lihat Iran, Afganistan, Pakistan, misalnya.  Tidak satu pun dari negara-negara tersebut yang melindungi dan menjamin kaum minoritasnya sebagaimana kaum Muslim dilindungi di Eropa, Amerika, Jepang, Korea, atau Singapura.  Bahkan Malaysia yang notabene lebih terbuka daripada negara-negara Islam lain di Asia atau Timur Tengah tidak mampu menjamin nasib kaum minoritasnya (akan saya tulis di artikel lain).    

Hukum syariah tidak patut dan tidak pantas diterapkan di Indonesia, bukan semata-mata karena tidak semua penduduk Indonesia beragama Islam, tetapi karena hukum tersebut membuka peluang penafsiran yang salah kaprah atau justru penafsiran yang menindas nilai-nilai kemanusiaan.  Bahkan walaupun hukum syariah belum diterapkan di Indonesia, saya dan saya yakin banyak di antara Anda yang sudah mulai merasakan betapa tidak nyaman dan penuh kecurigaannya hidup bermasyarakat di Indonesia saat ini dibandingkan sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu.  Pembangunan rumah ibadah dihalang-halangi, rumah pemeluk Ahmadiyah diserang dan dibakar massa, warung-warung makan yang buka di bulan Ramadhan diserang secara membabi buta, dan sebagainya.  Saya terus terang merasa khawatir bahwa dalam beberapa tahun lagi, bukan tidak mungkin daerah mayoritas non-Muslim akan memilih untuk memisahkan diri dari Indonesia.  Mudah-mudahan ini hanya kekhawatiran belaka. 

Sebagai penutup, saya ingin berbagi sebuah pepatah yang kurang lebih bunyinya demikian, “Be a good Christian, a good Moslem, a good Hindu, or a good Buddhist.  But first and foremost, be a good human being”.  Kalau karena menganut suatu agama atau kepercayaan menjadikan kita kehilangan rasa kemanusiaan kita, untuk apa kita menganut agama tersebut?

0 comments:

Post a Comment