January 14, 2011

Bagimu Agamamu, Bagiku Agamaku

Kita tentu tidak asing lagi dengan ungkapan “Lakum dinukum wa liyadin”, yang artinya, “Bagimu agamamu, bagiku agamaku” (Surat Al Kafirun, ayat ke-6).  Ungkapan ini sering dilontarkan oleh rekan-rekan Muslim untuk menggambarkan toleransi ajaran Islam terhadap ajaran-ajaran lain yang ada pada saat diturunkannya Al Quran, utamanya Kristen/Nasrani dan Yahudi.  Selain mereka yang termasuk dalam golongan Islam liberal, pihak-pihak yang mendukung pemberlakuan syariat Islam pun seringkali mengutip ungkapan tersebut untuk menyatakan bahwa dalam Islam tidak ada paksaan bagi non-Muslim untuk beribadah sesuai kepercayaan masing-masing karena agama adalah urusan pribadi antara seorang individual dengan Tuhannya.  Namun benarkah demikian? 

Kenyataannya, di negara Islam manapun di seluruh dunia, hak gerak non-Muslim senantiasa dibatasi.  Tidak satu pun negara berazaskan Islam yang memberikan hak dan kedudukan yang sama antara Muslim dan non-Muslim.  Tidak perlu jauh-jauh ke Saudi Arabia, Iran, atau Afganistan, negeri jiran Malaysia yang senantiasa berpromosi sebagai negara terbuka yang indah dalam perbedaan pun ternyata tidak mampu menjamin kebebasan beragama dan beribadah kaum non-Muslim di negaranya.  Padahal di negara ini hanya sekitar 60% penduduknya Muslim, sisanya pemeluk Kristen, Hindu, Budha, dan aliran kepercayaan.  Warga negara Malaysia yang beragama Islam, entah karena kelahiran maupun pindah agama, tidak diperbolehkan untuk pindah ke agama lain dengan alasan apapun.  Bahkan di beberapa negara bagian, murtad merupakan tindakan kriminal yang dapat dikenai berbagai hukuman.  Sebaliknya, non-Muslim yang ingin menjadi mualaf akan disambut dengan baik. 

Pemerintah Malaysia juga menyatakan bahwa mereka yang terlahir dari keluarga Muslim, baik salah satu maupun kedua orang tuanya, otomatis merupakan Muslim seumur hidupnya.  Konstitusi Malaysia juga mensyaratkan bahwa untuk memperoleh hak-hak khusus dan prioritas bagi suku bangsa Melayu, seseorang tidak saja harus lahir dari suku Melayu dan berbicara bahasa Melayu sebagai bahasa ibu, tetapi juga harus beragama Islam.  Seorang Melayu yang kemudian murtad dari Islam otomatis dicabut hak-haknya sebagai orang Melayu.  Padahal Malaysia sendiri adalah salah satu negara penanda tangan Universal Declarations of Human Rights, yang salah satu pasalnya menjamin kebebasan individu untuk memeluk dan beribadat sesuai agama yang diyakininya.

Dalam blog ini, saya pernah memuat tulisan indah Goenawan Mohamad tentang Revathi Massosai, seorang WN Malaysia keturunan India yang lahir sebagai seorang Muslim namun kemudian menikah dengan seorang pria Hindu.  Revathi yang memang dibesarkan oleh neneknya yang beragama Hindu kemudian memohon agar kolom agama dalam KTP-nya diganti sesuai agama barunya.  Alih-alih permohonannya dikabulkan, Revathi malahan dijebloskan ke pusat rehabilitasi Islam milik pemerintah negara bagian Melaka di mana Revathi diharuskan memakai jilbab dan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan imannya, seperti melakukan shalat, bahkan memakan daging sapi yang diharamkan oleh umat Hindu di India!  Selain Melaka, negara bagian Perlis juga memiliki pusat rehabilitasi yang bertujuan mengislamkan kembali para calon murtadin.

Kasus serupa juga menimpa keluarga Nyonya Tahir alias Wong Ah Kiu, yang lahir dari keluarga blasteran Melayu-Cina Muslim namun diangkat anak oleh keluarga Cina Budha dan seumur hidupnya tidak pernah menjalankan syariat Islam.  Ketika Nyonya Tahir meninggal dunia, pemerintah melarang pihak keluarga untuk mengkremasi jenazahnya dengan ritual Budha dengan alasan ia dilahirkan sebagai Muslim.  Baru setelah melalui proses pengadilan untuk membuktikan bahwa almarhumah memang tidak pernah menjalankan syariat Islam semasa hidupnya, pemerintah akhirnya bersedia menyerahkan jenazah Nyonya Tahir kepada pihak keluarga untuk dikremasi.

Mereka yang dibesarkan secara Muslim dan ingin memeluk agama lain tentu lebih berat lagi perjuangannya.  Azalina Jailani, seorang Muslim yang kemudian berkeinginan memeluk agama Kristen hanya diperbolehkan mengganti namanya menjadi Lina Joy di KTP, namun tidak diperkenankan mengubah agamanya karena pengadilan syariah menolak permohonannya murtad dari agama Islam.  Hal serupa juga menimpa Nur’aisah Bokhari, yang kepindahannya ke agama Kristen ditolak oleh pemerintah sehingga akhirnya ia harus menetap di luar negeri.  Jika agama memang adalah ranah pribadi seperti ungkapan “Bagimu agamamu, bagiku agamaku” di atas, mengapa iman seseorang harus diputuskan oleh pengadilan syariah? 

Pemerintah Malaysia juga melarang umat Kristen menggunakan kata “Allah” dalam Alkitab dan kebaktian mereka, karena “Allah” dianggap dapat membingungkan umat Muslim yang juga menggunakan kata yang sama untuk menyebut tuhan mereka.  Padahal kata “Allah” sudah digunakan umat Kristen sebelum negara Malaysia berdiri, bahkan kata ini sudah dipakai umat Kristen Koptik di tanah Arab jauh sebelum agama Islam itu sendiri lahir!  Hingga saat ini, umat Kristen di Arab pun masih menggunakan kata tersebut dalam Alkitab maupun doa sehari-hari. 

Tempat-tempat ibadah pun tidak lepas dari berbagai “serangan” yang dilancarkan kaum Muslim, baik pemerintah lokal maupun oknum-oknum pribadi.  Selain beberapa gereja yang diserang sebagai dampak perselisihan Islam-Kristen akan kata “Allah” di atas, pemerintah juga menginstruksikan pembongkaran banyak kuil Hindu di beberapa kota besar di Malaysia dengan alasan kuil tersebut tidak mengantongi izin, padahal setidaknya dua dari kuil-kuil tersebut dibangun bertahun-tahun sebelum negara Malaysia sendiri berdiri! 

Contoh-contoh di atas membuktikan bahwa diskriminasi terhadap non-Muslim di negara tersebut bukan lagi diskriminasi yang dilakukan oleh individual atau oknum, melainkan sesuatu yang dilakukan secara sistematis dan dibenarkan serta didukung oleh otoritas, dalam hal ini pemerintah.  Sebagian orang boleh berpendapat bahwa pemerintah Malaysia hanya berusaha melindungi identitas ras Melayu yang kebetulan beragama Islam dari “serangan” ras pendatang (utamanya Cina dan India Tamil yang mayoritas non-Muslim).  Jika Anda pun berpandangan demikian, silakan tunggu tulisan saya berikutnya mengenai umat Kristen di Irak dan Mesir, di mana mereka terdiri dari orang-orang asli setempat.

11 comments:

Anonymous said...

mantap, apa bisa dishare ke http://www.superkoran.info/

The Wanderer said...

silakan, boleh kok. kebenaran tidak boleh ditutup2i.

The Wanderer said...

Sebagai tambahan, bisa disimak pendapat Dr. Zakir Naik, penceramah Islam paling terkemuka di kawasan sub-continent (India, Pakistan, dan sekitarnya), mengenai hak kaum non-Muslim di negara Islam di sini: http://www.youtube.com/watch?v=SsGajgXkge4&feature=related.

Anonymous said...

benar2 tulisan sampah!
lebih baik lo intropeksi diri & belajar lebih benar!
ingat, lo akan menanggung dosa orang2 yg tersesat karena tulisan ga mutu ini!

KP said...

@Anonymous: Saya masih terus-menerus introspeksi dan belajar lebih benar. Oleh karena itu, mohon rela berbagi jika ada tulisan pembanding yg membuktikan bahwa apa yg saya tulis adalah sampah. Terima kasih.

Anonymous said...

Ajaran islam sudah jelas mengajarkan bahwa tidak ada paksaan bagi orang2 non muslim untuk memeluk agama islam... silahkan baca

http://qnoyzone.blogdetik.com/index.php/2010/01/02/opini-tafsir-toleransi-beragamaa-dalam-islam-ustadz-quraish-shihab/

diluar konteks itu ...?? wallohualambisawab

The Wanderer said...

@Anonymous: Terima kasih komentarnya. Saya sudah baca tulisan Ustadz dalam link tersebut, tetapi itu tidak menjawab bagaimana umat Islam seharusnya menyikapi mereka yang lahir sebagai Muslim namun ingin memeluk agama lain. Saya pernah tinggal di beberapa negara Islam dan semuanya memang menjamin kebebasan beribadah bagi non-Muslim, tetapi setahu saya tidak satupun menjamin dua hal berikut:

* Kebebasan seorang Muslim untuk memilih agamanya (murtad)
* Kebebasan komunitas non-Muslim untuk menyebarkan ajarannya sebagaimana Muslim bebas menyebarkan ajarannya pada non-Muslim

Adakah?

Anonymous said...

salam.
anda msih blum paham btul tafsir dari ayat tersebut dan sulit bagi org yg sudah keras hatinya utk menerima itu. jd lbih baik kaji kitab anda sndiri dripd mengkaji kitab umat lain tp salah mentafsirkan. wassalam :)

Anonymous said...

oh iyah, tolong jg jgn lihat dri segi oknum atau suatu kumpulan tp lihat dri segi yg d ajarkan agama islam itu sendiri yg mutlak adanya atas firman Allah SWT. saya tdk ingin membandingkan dgn agama nasrani yg bgitu adanya, krena saya tdk paham btul, tp yg pasti misionaris itu adalah salah satu tujuan stiap gereja (menurut tman saya seorang nasrani) berbeda dgn islam yg hanya menganjurkan berdakwah, meskipun tdk trbatas dgn siapa dakwah itu, dan satu hal lg, islam tdk prnah memaksa seseorang utk memeluk islam. wallahualam bishawab.


*tlg d setujui ya, agar smua bisa membaca kbenaran. trima ksih :)

The Wanderer said...

salam.
anda msih blum paham btul tafsir dari ayat tersebut dan sulit bagi org yg sudah keras hatinya utk menerima itu. jd lbih baik kaji kitab anda sndiri dripd mengkaji kitab umat lain tp salah mentafsirkan. wassalam :)
-------------------------
@Anonymous: saya tidak sedang menafsirkan ayat di atas kok, bagian mana dari tulisan di atas yg memuat tafsiran saya? Saya hanya mempertanyakan, sejalankah apa yg diajarkan dalam Al Quran dengan kenyataannya? Kalau menurut Anda tidak sejalan, berarti yg salah menafsirkan bukanlah saya, tetapi otoritas2 Islam yg saya singgung dalam tulisan di atas. Salam.

The Wanderer said...

oh iyah, tolong jg jgn lihat dri segi oknum atau suatu kumpulan tp lihat dri segi yg d ajarkan agama islam itu sendiri yg mutlak adanya atas firman Allah SWT. saya tdk ingin membandingkan dgn agama nasrani yg bgitu adanya, krena saya tdk paham btul, tp yg pasti misionaris itu adalah salah satu tujuan stiap gereja (menurut tman saya seorang nasrani) berbeda dgn islam yg hanya menganjurkan berdakwah, meskipun tdk trbatas dgn siapa dakwah itu, dan satu hal lg, islam tdk prnah memaksa seseorang utk memeluk islam. wallahualam bishawab.
------------------------------------------
@Anonymous: sebagai umat Islam, tentu Anda akan mengatakan bahwa Islam tidak pernah memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam, tetapi sayangnya sangat banyak contoh di mana toleransi yg didengung2kan sebagian umat Islam ternyata justru tidak dipraktikkan oleh otoritas2 yg mengaku Islam.

Saya sempat bertanya di atas, "Adakah negara berbasis syariah yg menjamin dua kebebasan di bawah ini? 1. Kebebasan seorang Muslim untuk memilih agamanya (murtad), 2. Kebebasan komunitas non-Muslim untuk menyebarkan ajarannya sebagaimana Muslim bebas menyebarkan ajarannya pada non-Muslim." Sampai saat ini saya tidak mendapatkan jawabannya. Mungkin Anda bisa membantu?

-------------------------------------------------
*tlg d setujui ya, agar smua bisa membaca kbenaran. trima ksih :)
-------------------------------------------------
Semua komentar saya selalu setujui, tapi karena saya jarang membuka account ini, baru saya setujui sekarang, maaf ya.

Post a Comment