November 1, 2007

Lebaran... Lebaran...


Walaupun g non-Muslim, tapi secara nyokap dan seluruh keluarganya Muslim yg lumayan taat, maka otomatis hari raya Idul Fitri menjadi momen yang cukup penting buat kita. Malahan waktu SD, g sering ikutan puasa sama nyokap n nenek. Jelas lah waktu itu g nggak gitu ngerti makna puasa buat umat Muslim. Ya namanya juga anak kecil, doyan ikut2an, termasuk ikut2an shalat segala. G masih inget waktu Lebaran ikut dibeliin baju baru sama uwa soalnya sebulan penuh bisa puasa nggak bolong, hehehe…

Beberapa hari sebelum puasa, biasanya kita sekeluarga nyekar ke makam keluarga ibu. Sebenernya, nggak ada seorang pun yg g kenal deket (cuma tau nama aja). Ya iyalah mereka semua meninggal waktu g masih kecil (or even earlier). Tapi nyokap dan nenek percaya bahwa orang2 tersebut masih “ada” sampe sekarang.

Hari pertama Lebaran selalu dimanfaatkan keluarga besar untuk berkumpul di “tempat nenek”. Yang namanya “tempat nenek” ini nggak jelas. Pokoke di mana si nenek mau Lebaran, di sanalah kita semua pada ngumpul (kakek udah meninggal lebih 20 tahun lalu). Kebetulan anak2 nenek semuanya tinggal di Bogor, jadi nggak perlu repot2 mikirin masalah mudik2an. Oiya, di keluarga g nggak ada yg namanya tradisi sungkem2an, paling cipika-cipiki aja.

Yang paling ngangenin dari Lebaran tentu saja makanan2nya. Sampe sekarang nenek masih sering masak ketupat, opor, rendang atau semur, sambel goreng pete, dan goreng emping menjelang Lebaran (sori ya buat yg keyboard-nya jadi basah terkena air liur…). Anehnya, hidangan2 ini nggak pernah muncul di hari2 biasa selain Lebaran. Biasanya masakan2 ini menjadi penyelamat hidup selama berhari2… sampai si bibi balik lagi, hehehe.

Sore atau besoknya, kita baru mudik (bareng2 nenek) ke rumahnya yang beneran di Sukabumi untuk bersilaturahmi dengan saudara2 jauh dan tetangga2. Keluarga nenek dulu emang lumayan berpengaruh di desa, jadi masih banyak tetangga yg bersilaturahmi, walaupun kehidupan sosial di desa sudah banyak berubah. Apalagi buyut sering nyekolahin anak2 sekitar dan nyiptain lapangan kerja melalui tokonya. Tradisi bagi2 sembako dan pakaian kepada para tetangga nenek pun masih dipelihara sampe sekarang.

Hari kedua Lebaran, baru deh kita ngunjungin satu-dua teman2 kantor ayah dan ibu (yang tentu saja sudah pensiun). Yang menyentuh, pada hari ini beberapa keluarga bokap (yg non-Muslim) biasanya juga datang ke Bogor atau Sukabumi (tergantung di mana nenek berada) buat silaturahmi sama nenek.

Lebaran kali ini nggak kayak biasanya, soalnya cucu2 nenek sudah bermigrasi “bedol desa” ke seluruh dunia, dari Lombok, Singapura, Dubai, Mekkah, Eropa, hingga Australia. Sepupu yg paling deket (di Jakarta) juga lagi umrah. Baru sekali ini deh lebaran cuma lewat telepon. Sedih sih, tapi yang penting silaturahmi tetep jalan kan?

Tradisi Lebaran di Indonesia pastinya beda dengan Lebaran di sini. Kebetulan udah dua kali g Lebaran di Dubai. Lebaran di Dubai nggak meriah kayak di Indonesia. Dibilang aneh ya aneh, tapi dibilang nggak aneh juga iya, soalnya hampir 90% penduduk Dubai adalah pendatang. Nggak tahu persis sih berapa persen penduduk Dubai yg Muslim, tapi yg jelas persentase non-Muslim di sini cukup besar (di antara ekspat Arab juga ada komunitas Kristen yg cukup besar, terutama dari Lebanon). Arguably, Natal dan Tahun Baru justru jauh lebih meriah di Dubai. Entah kalo di negara2 Middle-East laen.

Bulan Ramadan di Dubai ditandai dengan lengangnya tempat2 umum pada siang hari, termasuk pusat2 perbelanjaan. Sepiiiiiii banget deh. Mungkin gara2 kebanyakan tempat makan-minum nggak boleh buka di tempat2 umum, kecuali satu-dua restoran di hotel (bersyukurlah saudara2ku non-Muslim di Indonesia). Kalaupun buka, cuma boleh take-away or delivery service saja. Bahkan banyak pusat belanja seperti Souk Madinat dan Gold Souk yg tutup pukul 1 siang dan baru buka lagi malemnya.

Jam kerja juga berubah dari 8 jam menjadi 6 jam sehari bagi Muslim atau 7 jam (termasuk 1 jam istirahat) bagi non-Muslim. Segala jenis live performance dan musik yang hingar-bingar (termasuk belly dancing) dilarang keras selama Ramadan, dan alkohol cuma boleh setelah pukul 7 malam. Jadi inget, beberapa minggu yg lalu di sebuah majalah ada pembaca (Muslim) nanya, “Kalau bulan puasa, boleh nggak minum alkohol setelah buka?” Toenggg…

Setelah bedug maghrib bergema (eh di sini nggak ada bedug ding!) baru deh orang2 Dubai tiba2 pada nongol out of nowhere. Restoran2 dan food court penuh luar biasa dan hotel2 berbintang mencoba meraih keuntungan (yg hilang di siang hari) dengan mendirikan Ramadan tents, yaitu tenda2 yang didekorasi seperti majlis (living room di rumah2 tradisional Arab). Ramadan tents di hotel2 berbintang biasanya buka hingga pukul 2-3 pagi. Selama itu pulalah pengunjung dimanjakan dengan Arabic coffee (kopi dicampur rempah2), kurma, hidangan iftaar (buka puasa) atau light meal, henna painting and of course hubbly-bubbly alias shisha. Walaupun seringkali dikritik sebagai penyimpangan dari spirit puasa yg diajarkan Nabi Muhammad, namun nyatanya fenomena ini justru semakin menjamur setiap tahun. Hidangan iftaar biasanya Arabic buffet, tapi tahun ini ada juga lho hotel yg menawarkan Greek set menu untuk iftaar

Walaupun setiap Lebaran konsulat Indonesia selalu mengadakan halal bi halal selepas shalat Eid, staf2 Indonesia di tempat g juga selalu mengadakan halal bi halal sendiri malam harinya, walaupun jumlah orang Indonesianya semakin berkurang tiap tahun. Untung juga, karena halal bi halal di konsulat sangatlah mengerikan. Maksudnya waktu pada berebutan ngambil makanannya, hehehe. Maklum lah, selain gratisan, yang datang kan juga ribuan orang… Tahun kemaren cuma kebagian dua sendok nasi sama kuah sop kambing, hiks hiks.

Kalau Lebaran tahun lalu g ngerayain cuma dengan temen2 Indonesia, Lebaran kemaren g ngerayain dengan orang2 Arab juga. Lho? Iya, karena Lebaran ini g nonton konser Arabic pop-stars di Madinat Jumeirah. Gratisan bo, karena ikutan kerja part-time, hehehe. Kalo bayar sendiri paling murah AED 300 (Rp 750 ribu, tribun doang), paling mahal sekitar Rp 5 juta (termasuk set menu dinner). Konsernya sendiri berlangsung 3 hari dengan 3 penyanyi setiap hari, tapi g ikutan hari pertamanya aja. Artis2 yg manggung di antaranya Nancy Ajram, Elissa, Yaara, dan Fares Karam (maaf lupa2 inget namanya) dan datang dari berbagai negara Timur Tengah, seperti Lebanon, Saudi Arabia, dan UAE sendiri.

Di Indonesia, konser2 Lebaran pasti masih kental nuansa religiusnya (bahkan artis2 yg biasanya tampil seronok tiba2 berkerudung rapi), tapi konser kemarin itu justru jauh dari kesan religius. Nggak cuma dari jenis lagu2nya (Arabic pop/dance songs, bukan rohani), tapi hampir semua penontonnya juga berpakaian terbuka dan mengonsumsi alkohol. Wajar sih, even in Dubai, cuma kayaknya kok nggak pantes kalau dilakukan pada hari Eid.

Terlepas dari semua itu, harus diakui the performances were just superb!! G emang doyan banget sama lagu2 Arab, walaupun nggak ngerti... Baru mulai artis pertama (Fares Karam), para penonton udah larut dalam emosi. Pertamanya masih tepuk2 tangan, lalu goyang2 tangan ala Arab (susah njelasinnya, tapi khas Arab banget deh), setengah jam kemudian mereka mulai menari dabke (tari pergaulan ala Lebanon, kayak sajojo gitu deh). Wah seru banget deh, simply no reason to sit still! Konsernya sendiri baru beres jam 4 subuh!! Mana ada konser Lebaran di Indonesia beres jam 4 subuh??

Eid Mubarak. Mohon maaf lahir batin…

1 comments:

Haswar Hafid said...

where have you been!?
made-sama, made-sama.
how are you, man?

Post a Comment