March 28, 2005

REINKARNASI Menjawab "Kejamnya Dunia" (01)

Belum lama ini, sebuah acara TV menayangkan liputan kisah nyata yang sungguh memilukan hati. Dalam liputan tersebut, dikisahkan tentang seorang anak yang secara fisik (maaf) menyerupai kera. Kemiripan tersebut tidak saja terlihat dari bentuk wajah dan bulu-bulu di sekujur tubuhnya, namun anak ini juga tidak dapat berkomunikasi dalam bahasa manusia, bahkan tidak bisa diajari untuk berperilaku seperti manusia.

Di tayangan lainnya, pernah juga ditampilkan seorang bayi yang mengalami tumor ganas. Tumor ini tidak saja membentuk gumpalan daging yang besarnya satu setengah kali kepala sang anak, namun tumor ini juga tumbuh di mata, hidung, dan mulutnya, sehingga menjadikan wajahnya tidak simetris.

Tentu setiap pemirsa tayangan tersebut akan prihatin dan mungkin membatin, “Kenapa ya, nasibnya sangat malang? Padahal mereka masih anak-anak yang belum berdosa…”

Dari sudut pandang ilmu kedokteran, ini tentu ada kaitannya dengan prinsip-prinsip genetika, yang rumit bila diterangkan panjang lebar. Bagaimana dalil agama menjawab pertanyaan ini?


***

Menurut kepercayaan sebagian besar masyarakat kita, ini pasti ada hubungannya dengan takdir. Memang Tuhan sudah mentakdirkan demikian, jadi tidak bisa dipertanyakan lagi. Menurut sebagian lagi, ini namanya pencobaan. Mereka sedang dalam pencobaan, jika mereka lulus, dan tetap bersyukur, maka akan mendapat berkat melimpah dan sukacita. Saya setuju dengan optimisme dan harapan yang tersirat pada kepercayaan di atas seperti pada kisah Nabi Ayub.

Namun, tidak semua yang jelek-jelek terjadi pada orang-orang seperti Ayub. Kedua contoh di atas menunjukkan bahwa kerapkali, musibah terjadi pada mereka yang tidak berdaya. Bahkan untuk sekedar bangkit untuk mengucap syukur sekalipun, mereka tidak berdaya. Bayi yang diaborsi atau dibuang lalu mati merupakan contoh lainnya. Mereka tidak memiliki cukup kesempatan dan kemampuan untuk berikhtiar atau “berusaha untuk lulus”. Mereka lahir dalam keadaan seperti itu, dan mati dalam keadaan seperti itu juga.

Beberapa orang berpendapat bahwa mereka yang mati dalam keadaan tak berdaya akan otomatis masuk surga, atau bahwa anak yang lahir cacat biasanya disebabkan perilaku orang tua saat hamil dulu yang pernah mencela atau membenci orang lain. Terlepas dari tidak adanya bukti yang menyokongnya, pendapat ini akan menimbulkan pertanyaan lain, “Apakah mereka lahir hanya numpang lewat? Atau apakah penderitaan teramat sangat yang mereka alami ini hanya untuk memberikan “pelajaran” bagi orang tuanya semata? Kalau hanya untuk memberikan pelajaran, mengapa tidak orang tuanya saja yang diberi penderitaan? Apakah nyawa seorang manusia sebegitu tidak berharganya?”

Jika Saudara PEDULI dan SIAP membuka hati untuk merenungkannya, silakan LANJUTKAN.

Suatu kondisi, baik itu penderitaan maupun kebahagiaan, adalah konsekuensi logis dari karma atau suatu perbuatan yang dilakukan SEBELUMNYA. Ini dinyatakan pula dengan gamblang dalam Alkitab, “Apa yang engkau tanam, itulah yang akan engkau tuai”. Saudara akan terluka bakar jika terkena api, tapi tidak mungkin tiba-tiba Saudara terluka bakar ketika sedang duduk-duduk santai tanpa sebab apapun.

Dengan demikian, secara logis, kita dapat menyimpulkan bahwa anak-anak tersebut pernah melakukan sesuatu, entah apa, di masa lalu yang menyebabkan penderitaan di masa kini.

Masa lalu? Masa lalu yang mana lagi?

Kepercayaan yang populer saat ini adalah bahwa manusia hidup hanya sekali, untuk beberapa tahun, kemudian akan menghabiskan waktu SEPANJANG keabadian di alam sana.

Bagaimanapun, saat ini juga berkembang sebuah kepercayaan lain yang semakin banyak diamini oleh filsuf dan kaum pemikir serta para intelektual. Kepercayaan ini mengajarkan bahwa hidup tidak hanya sekali, dan tidak hanya untuk beberapa tahun. Hidup kita sekarang DIPENGARUHI oleh kehidupan kita di masa lalu dan MEMPENGARUHI kehidupan kita di masa depan. Kepercayaan ini menawarkan jawaban yang paling logis dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Kepercayaan ini disebut REINKARNASI.


Berlanjut ke bagian (2)

0 comments:

Post a Comment