October 28, 2010

Sujud Terakhir Mbah Maridjan

Kepergian Mbah Maridjan beberapa hari yang lalu sontak mengejutkan masyarakat Indonesia baik di dalam maupun luar negeri, termasuk saya.  Padahal si Mbah bukanlah seorang pejabat tinggi atau selebriti apalagi pengusaha terkenal.  Beliau hanyalah tipikal seorang manusia Jawa yang sederhana, sangat membumi.  Walaupun pengikutnya mencapai ratusan, mungkin ribuan orang, si Mbah bukan seorang propagandis yang berkoar-koar mencari popularitas atau pengikut. 

Mbah Maridjan juga bukanlah pegawai golongan tinggi, direktur jenderal, apalagi seorang menteri.  Namun, bagi sebagian masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta, si Mbah memegang tanggung jawab dan peranan yang luar biasa sebagai seorang duta besar.  Duta besar?  Ya, tepatnya duta besar Keraton Yogyakarta untuk Keraton Gunung Merapi.  Beliau merupakan penghubung alias juru kunci (kuncen) antara masyarakat Yogyakarta dengan masyarakat alam halus penghuni Gunung Merapi, sebuah jabatan yang diwarisinya dari almarhum sang ayah, dengan masa pelatihan seumur hidup.  Sedari muda, beliau telah menjadi asisten sang ayah dalam memimpin berbagai upacara sedekah gunung yang bisa dimaknai sebagai kunjungan diplomatik.

Si Mbah tiba-tiba menjadi headline ketika beliau menolak dievakuasi oleh tim SAR saat Merapi dalam keadaan siaga pada tahun 2006 karena percaya bahwa Merapi tidak akan meletus pada saat itu.  Bahkan perintah Sri Sultan (yang notabene merupakan atasannya sebagai abdi dalem Keraton) tidak mampu mengubah pendirian beliau.  Beberapa warga kemudian ikut-ikutan menolak turun gunung karena mereka lebih percaya pada sang sesepuh daripada ahli geofisika.  Kenyataannya, Merapi memang kemudian tidak jadi meletus.

Kejadian ini tentunya sangat sulit diterima akal, dan mungkin hanya bisa dimengerti betul-betul oleh mereka yang memiliki spiritualitas tinggi.
The Legendary Mbah Maridjan

Dalam pandangan masyarakat Jawa dan Bali, gunung, sebagaimana samudera, memang memiliki kekuatan niskala (magis) yang luar biasa.  Ajaran Hindu di Jawa dan Bali menempatkan gunung sebagai wujud kekuatan purusa (“ayah”) dan samudera sebagai wujud kekuatan predana (“ibu”).  Oleh karena itu, tempat-tempat suci Hindu di Indonesia biasanya dibangun di pegunungan atau dekat lautan.  Lebih kuat lagi nuansa spiritual (taksu) dari tempat suci yang dibangun menghadap lautan dengan latar belakang gunung karena menerima taksu dari kedua kekuatan tersebut. 

Harus diakui memang, yang disebut taksu tidak dapat diukur dengan alat ukur konvensional hingga sulit dibuktikan keberadaannya secara logis.  Namun kekuatan taksu suatu situs dapat dirasakan oleh mereka yang memiliki tingkat sensitivitas dan spiritualitas tinggi, terlepas dari agama yang dipeluknya. 

Kembali pada Mbah Maridjan, tidak ada yang tahu memang mengapa beliau menolak dievakuasi untuk kedua kalinya di saat Merapi mulai mengganas kembali beberapa hari lalu.  Mereka yang berada di sekitar si Mbah pada detik-detik terakhirnya pun ikut tewas diterjang awan panas wedhus gembel bersamanya sehingga tidak dapat dimintai kesaksiannya. 

Saya sendiri teringat sebuah cerita mengenai seorang pendeta yang berkali-kali menolak dievakuasi saat banjir besar melanda daerahnya karena ia percaya bahwa ia akan diselamatkan Tuhan.  Ketika akhirnya ia tewas dan bertemu Tuhan, ia bertanya mengapa Tuhan tidak kunjung datang untuk menyelamatkannya.  Tuhan kemudian menjawab bahwa Ia telah berusaha menyelamatkan si pendeta dengan mengirimkan tim SAR, rakit, dan helikopter namun semuanya telah ditolak mentah-mentah sehingga akhirnya ia tewas karena imannya. 

Saya tidak tahu apakah ini jugalah alasan si Mbah untuk menolak turun gunung ataukah ada sebab-sebab lainnya.  Namun saya sangat terenyuh membaca beberapa komentar di berbagai media online yang menyebut tewasnya Mbah Maridjan sebagai ganjaran dari kemusyrikan beliau yang percaya akan suatu kekuatan di luar Allah.  Ada pula yang terang-terangan menuduh si Mbah menjerumuskan masyarakat sekitarnya sehingga timbul korban dari letusan gunung tersebut.  Padahal menurut si Mbah sendiri, dirinya tidak pernah mengarahkan warga untuk mengikuti jejaknya.  Keselamatan seseorang, kata si Mbah, ditentukan oleh orang itu sendiri. 

Konon cerita, hingga akhir hayatnya, Mbah Maridjan memang tidak pernah menganggap Gunung Merapi sebagai sesuatu yang membahayakan.  Bahkan beliau tidak pernah mau menggunakan kata “meletus”, melainkan “hajatan”.  Ketika yang empunya Merapi sedang punya hajat, demikian tutur beliau, maka masyarakat sekitar harus banyak bersabar dan bertawakal.  Mungkin ini pula sebabnya mengapa warga sekitar tidak terlihat panik saat proses evakuasi yang berjalan lancar.

Ketika jenazah Mbah Maridjan kemudian ditemukan dalam posisi bersujud, timbul dugaan bahwa si Mbah memang sengaja menyongsong kematian, with style.  Seakan-akan sujudnya si Mbah adalah perwujudan dari kesabaran dan ketawakalannya sendiri, menggambarkan kepasrahan dan ketundukan beliau pada Yang Kuasa.  Seakan-akan sujud memang merupakan posisi terakhir yang dipilih oleh si Mbah sebagaimana dipercaya sebagian umat Islam bahwa mereka yang meninggal dalam posisi sujud niscaya meninggal secara khusnul khotimah. 

Mungkin sebagian besar dari kita akan menilai bahwa jalan yang dipilih Mbah Maridjan merupakan jalan yang absurd, bahkan bodoh.  Tentu tidak akan terpikir dalam benak kita untuk memilih bersujud dibandingkan berlari sekuat tenaga ketika awan panas kematian menyembur.  

Namun ketika keduniawian tidak lagi penting dalam kehidupan seseorang, kematian hanyalah masalah waktu.  Mereka yang akrab dengan wiracarita Mahabharata tentu ingat bagaimana Dewi Kunti, Dewi Gandari dan Patih Widura menyongsong kematian dengan memilih terus bermeditasi ketika kebakaran melanda hutan tempat mereka melakukan wanaprasta (mengasingkan diri). 

Dan rupanya Mbah Maridjan memahami inti kehidupan fana ini jauh lebih baik daripada banyak pemuka agama yang hafal kitab suci luar-dalam.

Selamat jalan, Mbah…

(Saya menemukan sebuah artikel yang sangat inspiratif mengenai hubungan Mbah Maridjan dan Gunung Merapi di sini)

0 comments:

Post a Comment